Oleh: Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Berpikir adalah sebuah aktivitas yang dimulai dari mendapatkan informasi atas sebuah fakta melalui pancaindera, kemudian menghubungkannya dengan informasi yang telah disimpan sebelumnya di dalam otak. Oleh karena itu, ada tiga hal mendasar yang menentukan kualitasnya: (1) kualitas informasi fakta; (2) informasi yang disimpan sebelumnya; (3) bagaimana menghubungkannya.
Kalau saja aktivitas berpikir boleh kita bikin levelingnya, maka level 0 (terrendah), berpikir IRRASIONAL. Pada orang yang berpikir irrasional, satu atau lebih hal mendasar yang menentukan kualitas berpikirnya, mengalami masalah. Mungkin informasi fakta yang diterimanya tidak akurat, atau informasi yang disimpan sebelumnya tidak lengkap, atau menghubungkannya terburu-buru. Jadi, pada level 0 ini, boleh jadi informasi faktanya benar, atau informasi yang disimpan sebelumnya juga benar, tetapi kesimpulan yang dihasilkannya sebenarnya tidak nyambung. Dulu, di penduduk asli Hawaii ada mitos bahwa "seseorang yang sehat, itu harus punya kutu rambut, karena orang yang sakit, ternyata ditinggalkan kutu rambutnya". Kedua fakta (sehat/sakit dan kutu rambut) itu benar. Tetapi menghubungkannya salah, karena yang benar, ketika orang sakit, lalu dia demam, kutu rambut tidak tahan berada di kepalanya. Tetapi, konklusi ini salah, karena ada informasi yang tidak lengkap, yaitu bahwa banyak orang sehat (di luar Hawaii) yang tidak punya kutu rambut. Di luar contoh ini, banyak pola pikir irrasional yang bertengger di beberapa ajaran agama & kepercayaan, juga beberapa pada dunia politik, ekonomi, manajemen dsb.
Level di atasnya level (1), berpikir ILMIAH. Berpikir ilmiah mencakup berpikir RASIONAL maupun EXPERIMENTAL. Tergantung objeknya. Ada objek yang cukup diolah secara rasional, misalnya mencakup matematika, astronomi, meteorologi, geologi, sejarah, ekonomi dsb, yang sebenarnya nyaris tidak bisa diuji secara pasti, tetapi konklusi pemikiran itu konsisten dengan fakta yang ditemukan serta bisa untuk prediksi. Misalnya, secara rasional, jauh sebelum era manusia bisa melihat bumi dari ruang angkasa, mereka sudah bisa memastikan bahwa bumi ini bulat, berrotasi pada porosnya, dan mengelilingi matahari. Tentu saja tidak semua hal bisa dipastikan secara rasional. Karena itulah, berpikir ilmiah untuk objek-objek tertentu juga memerlukan metode experimental - dalam kondisi laboratorium - misalnya fisika, kimia, bioteknologi, material science, mesin, teknik sipil dsb. Ketika sebuah objek baru bisa direkayasa (misalnya komputer) - padahal elektron itu tidak tampak secara langsung oleh pancaindera, maka teori tentang elektron itu menjadi sulit untuk dinafikan.
Level di atasnya level (2), berpikir INOVATIF. Berpikir inovatif adalah berpikir bagaimana sesuatu bisa menjadi manfaat bagi orang banyak, baik itu manfaat ekonomi, manfaat kemanusiaan, manfaat keindahan ataupun yang lain. Kadang sebuah teknologi tidaklah terlalu canggih secara ilmiah, tetapi sebuah inovasi mampu menjadikannya dipakai oleh ratusan juta manusia. Contoh yang paling gampang adalah di dunia teknologi informasi. Steve Jobs sebenarnya banyak menciptakan teknologi selain Apple, Macintosh, iphone, ipod dan ipad. Tetapi banyak hal yang menyebabkan tidak semua penemuannya itu dikenal orang. Demikian juga, Facebook bukan situs jejaring sosial pertama atau satu-satunya. Google juga bukan mesin pencari pertama atau satu-satunya. Tetapi kenapa Facebook dan Google menjadi sangat terkenal? Karena inovatif!
Level selanjutnya level (3), berpikir INSPIRATIF. Berpikir inspiratif adalah berpikir bagaimana bisa mencerahkan dan menggerakkan manusia atau masyarakat. Mereka menjadi seolah-olah tergerak dari dalam, bukan karena diarahkan oleh orang lain atau oleh sistem. Biasanya yang mampu berpikir inspiratif adalah mereka yang memiliki pengalaman hidup yang luar biasa, misalnya pernah membalikkan situasi yang sangat memprihatinkan menjadi kesuksesan. Orang yang berpikir inspiratif mampu menggerakkan anak muda yang tidak semangat belajar, pengusaha bangkrut agar bangkit lagi, politisi yang sedang difitnah lawan politiknya, hingga pengemban dakwah yang sedang patah semangat (futur).
Berpikir ilmiah, inovatif dan inspiratif sudah bisa dilakukan pada scope sangat local. Tetapi pada level selanjutnya kita bisa berpikir lebih luas. Untuk itu kita masuk level (4), berpikir INTEGRATIF - cakupannya bisa se-INDONESIA. Bak negarawan, kita memikirkan bagaimana mengurus bangsa Indonesia ini agar bisa menjadi bangsa yang bermartabat, mandiri, maju dan memberi manfaat bagi bangsa-bangsa lain. Untuk itu apa yang harus kita ubah? kita perbaiki? kita sempurnakan? Untuk dapat berpikir Indonesia, kita mesti mengenal berbagai karakter bangsa Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku, tinggal di ribuan pulau, dengan berbagai situasi, sejarah dan aneka ragam perundang-undangan yang membentuk adat-istiadat, habbit dan kultur yang berbeda-beda. Keragaman itu adalah sebuah fakta, bagaimana kita harus menyerap yang positif dan menjadikannya kekuatan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa, adalah tantangan dalam berpikir level 4.
Mungkin berpikir pada scope Indonesia juga belum cukup, apalagi saat ini dunia saling terhubung, saling terkait. Jadi kita bisa masuk level (5), berpikir INDEPENDEN - di kancah INTERNASIONAL. Untuk dapat berpikir independen di kancah internasional maka kita harus memahami keragaman tingkat dunia, termasuk sejarah, budaya, konstelasi politik dan ekonomi internasional berikut intrik-intrik dan konspirasi yang mungkin ada. Ini adalah berpikir yang tidak mudah, karena tidak semua informasi dapat divalidasi atau diketahui akurasinya. Salah informasi dalam berpikir internasional dapat menjebak seseorang ke berpikir konspiratif, yang mensimplifikasi masalah apapun (dari bencana lokal sampai kekalahan dalam pilkada) sebagai hasil konspirasi global. Konspirasi memang bisa dan biasa terjadi di kancah politik atau ekonomi, tetapi tidak semua hal dapat dipastikan. Beberapa teori konspirasi malah bisa dipastikan keliru kalau itu melanggar hukum-hukum alam yang diketahui di dunia ilmiah.
Level selanjutnya adalah level (6), berpikir IDEOLOGIS. Ketika seseorang berpikir internasional, mungkin dia melihat sebagian bangsa lebih maju dari yang lain dan bertanya-tanya, bagaimana mereka bisa maju? Di sinilah dia akan bersentuhan dengan sesuatu yang lain, bahwa kemajuan itu terkait dengan pandangan hidup (falsafah) yang mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan perilaku. Berikutnya, falsafah itu juga akan berpengaruh pada sistem peraturan yang dibuat, pada undang-undang, dan pada struktur organisasi yang diterapkan atas bangsa tersebut. Ini adalah sebuah ideologi. Jadi berpikir ideologis sebenarnya sangat sulit. Kita memikirkan banyak sekali hal sekaligus. Di dunia ada beberapa ajaran yang dapat disebut ideologi, sub-ideologi, semi-ideologi atau pseudo-ideologi. Tetapi secara umum, ajaran kapitalisme dan sosialisme dapat disebut ideologi. Kapitalisme sebenarnya bertumpu pada pandangan sekulerisme, yang memisahkan agama dari perannya dalam kehidupan publik. Selanjutnya pandangan ini memberikan kebebasan maximal dalam berbagai hal (liberalisme). Tentu saja saja kebebasan ini dalam prakteknya harus dibatasi oleh hukum, cuma hukum seperti apa? Karena asas sekulerisme, maka hukum tadi - minimal secara teori - wajib dibuat bersama-sama saja oleh berbagai kelompok (pluralisme), lahirlah demokrasi. Dalam implementasinya, demokrasi ternyata sangat tergantung kepada pemilik modal, dan pada akhirnya, hasil dari demokrasi berupa undang-undang dan penguasa, semakin memperkuat posisi pemilik modal, inilah mengapa lebih disebut kapitalisme.
Dan level yang tertinggi (7) adalah berpikir ISLAMI. Berpikir islami sebenarnya menempatkan Islam sebagai ideologi. Karena syahadat seorang muslim adalah falsafah yang akan berpengaruh pada pandangan hidup, pola pikir, sikap, perilaku, membuat undang-undang, membuat struktur organisasi yang mengatur masyarakat, dsb. Dan lebih dari itu, dia tidak cuma berpikir dunia di masa sekarang, tetapi juga di masa yang akan datang. Bahkan dia bisa melihat apa yang tidak terdeteksi oleh pancaindera, yaitu dunia akherat! Dia tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi juga tentang rahmat bagi alam semesta. Dia otomatis berpikir internasional, karena semua bangsa berhak untuk merasakan indahnya Islam. Berpikir Islami juga pasti berpikir Indonesia, negeri kaya sumber daya tetapi juga kaya potensi bencana tempat tinggal muslim terbanyak di dunia. Berpikir Islami juga pasti berpikir inspiratif, bagaimana menggerakkan orang yang sudah bersyariah menjadi siap berdakwah; yang baru beribadah agar kaffah bersyariah; bahkan yang belum bersyahadat agar mau meyakini bahwa sesungguhnya Tiada Sesembahan yang wajib disembah selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Nabi dan Utusan Allah. Ini jauh lebih dari sekedar inspirasi karena pengalaman hidup, karena inspirasi dari Islam melampaui apa yang mungkin didapat seluruh manusia sepanjang pengalaman hidup mereka (beyond inspiration). Berpikir Islami pasti mendorong orang untuk berpikir inovatif, karena Islam berlaku hingga akhir zaman, tetapi tanpa ijtihad yang menghasilkan berbagai inovasi, akan banyak persoalan manusia yang tidak mendapatkan solusi. Tetapi ijtihad adalah lebih tinggi dari sekedar innovasi (beyond innovation), karena dia sedari awal sudah melibatkan Allah, baik dari motivasinya (ontologi), cara mencapainya (epistemologi), hingga ke aplikasinya (axiologi). Dan jelas, berpikir Islami adalah berpikir ilmiah. Karena dasar keimanan (syahadat) sudah seharusnya dicapai dengan cara berpikir yang rasional, dan selanjutnya seperti soal malaikat atau hari kiamat, diturunkan dari dasar keimanan secara rasional. Islam tidak memberikan tempat untuk cara berpikir irrasional, sebagaimana mereka yang mencampuradukkan agamanya dengan bid'ah, khurafat dan tahayul. Tetapi berpikir Islami lebih dari sekedar berpikir ilmiah (beyond scientific way), karena informasi ilahiyah yang diturunkan secara rasional memberikan petunjuk tentang berbagai hal yang memang bukan seluruhnya dapat ditemukan secara metode ilmiah, karena menyangkut tujuan hidup manusia, nilai-nilai yang mutlak harus dipertahankan, dan sistem pengaturan hidup manusia baik secara garis besar, maupun dalam beberapa hal cukup rinci. Juga tentang beberapa kabar ghaib yang tentu di luar domain dunia ilmiah.
Berpikir Islami adalah berpikir beyond inspiration, beyond innovation, beyond scientific way![]
=====
(Jika merasa mendapat manfaat dari tulisan ini, sila disebarluaskan)
=====
Selasa, 04 Oktober 2016
Senin, 03 Oktober 2016
MEA dan Pendidikan Akuntansi Kita
Pada Sabtu (28/5)
lalu, penulis beserta rekan dosen lain menghadiri Simposium Regional Akuntansi
(SRA) yang pertama diadakan di Jawa Barat. Simposium ini dijadikan sebagai
forum curah gagasan dan tukar pikiran serta sharing
pengalaman antara pendidik dan praktisi akuntansi di wilayah Jawa Barat. SRA
perdana tersebut mengangkat tema “Peningkatan
Lulusan S1 Akuntansi Dalam Era MEA”. Tema ini menarik untuk diangkat karena
dalam dunia profesional akuntansi saat ini, akuntan adalah salah satu profesi
yang tercantum dalam mutual recognition
arrangement (MRA) sebagai konsekwensi diberlakukannya Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA).
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Berbicara mengenai
ASEAN, maka tentu akan terbersit dalam benak kita tentang MEA. Pada KTT ASEAN
ke-9 yang berlangsung di Bali 2003 lalu, negara-negara anggota ASEAN merumuskan
suatu kesepakatan untuk mewujudkan integrasi ekonomi regional ASEAN yang lebih
nyata melalui pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community). Sebagai salah satu hasilnya, MEA merupakan wujud integrasi
ekonomi di ASEAN yang telah dimulai pada 2015 lalu.
Tujuan utama para
pemimpin ASEAN membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada
akhir 2015 adalah untuk meningkatkan daya saing ASEAN agar dapat menyaingi China
dan India dalam hal menarik dana investasi asing. Investasi asing sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan serta meningkatkan
kesejahteraan. Upaya pembentukan pasar tunggal ini, memungkinkan suatu negara
menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara lain di kawasan Asia Tenggara yang
tentunya akan membuat kompetisi berlangsung semakin ketat.
MEA tidak hanya
membuka arus perdagangan barang, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional. Sebagai
contoh, akuntan, pengacara, dokter, dan lainnya. MEA menuntut adanya
penghapusan aturan-aturan yang dinilai menghalangi perekrutan tenaga kerja
asing. Pembatasan, terlebih lagi dalam sektor tenaga kerja profesional,
didorong untuk dapat dihapuskan. Intinya, MEA akan lebih membuka peluang tenaga
kerja asing untuk dapat mengisi berbagai profesi di Indonesia. Sejumlah syarat
yang ditentukan diantaranya kewajiban mampu berbahasa Indonesia dan mengantongi
sertifikasi lembaga profesi terkait yang ada di dalam negeri.
Pendidikan Akuntansi Dalam Menghadapi MEA
Pendidikan
akuntansi di Indonesia dianggap perlu mengikuti perkembangan akuntansi
internasional beserta isu-isu pengelolaan yang ada, baik di sektor bisnis maupun
sektor publik. Sehingga, proses pendidikan idealnya disesuaikan dengan
perkembangan landscape akuntansi di
sektor bisnis dan publik. Penelitian-penelitian akuntansi juga perlu diselaraskan
dengan kebutuhan sektor bisnis dan publik, dengan harapan hasil penelitian
akuntansi mampu memberikan kontribusi nyata dalam proses peningkatan kualitas
tata kelola dan profesi akuntan. Pengabdian masyarakat dalam bidang akuntansi
juga perlu disinergikan dengan berbagai pemangku kepentingan.
Titik tekannya
adalah bahwa pendidikan akuntansi yang baik meniscayakan adanya sinergi dengan
berbagai stakeholder, diantaranya
perguruan tinggi, regulator, asosiasi profesi, dan korporasi. Regulator
diharapkan mampu mendukung proses pendidikan akuntansi dengan menerbitkan
berbagai kebijakan dalam rangka merumuskan standar kompetensi akuntan
profesional. Korporasi diharapkan mampu memberikan masukan mengenai kebutuhan
profesi akuntan di era globalisasi ini. Asosiasi profesi mengambil peranan dalam
hal memberikan input standar kompetensi akuntan profesional serta meningkatkan
kode etik akuntan profesional dalam menghadapi berbagai persoalan dilema etika
yang mungkin akan dialami oleh profesi. Perguruan tinggi membuat desain standar
pendidikan yang berbasis penelitian ilmiah agar tercipta link and match dengan mutu sertifikasi. Melalui kolaborasi pihak-pihak
tersebut, pendidikan akuntansi yang berperan sebagai katalis diharapkan dapat
menciptakan akuntan profesional yang unggul bukan hanya di level nasional, tapi
juga di level regional dan internasional.[]
=====
(Jika merasa mendapat manfaat dari tulisan ini, sila disebarluaskan)
=====
=====
(Jika merasa mendapat manfaat dari tulisan ini, sila disebarluaskan)
=====
Re-aktualisasi Cinta Nabi
Yaa Nabi salam
‘alayka
Yaa Rasul
salam ‘alayka
Yaa habib
salam ‘alayka
Shalawatullah
‘alayka
“Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya.” [TQS. Al-Ahzab: 56]
Pada bulan
Rabi’ul awal setiap tahunnya senantiasa diperingati hari kelahiran (maulid)
Nabi Muhammad saw. Salah satu tujuan dari peringatan Maulid Nabi saw. yang
biasa dilakukan oleh sebagian kaum Muslim pastilah menumbuhkan rasa cinta
kepada Nabi saw. sebagai wujud dari cinta kepada Allah swt. Persoalannya, cinta
kepada Allah dan Nabi-Nya, pasti menuntut sejumlah konsekuenasi tertentu, bukan
sekadar diwujudkan dengan kata-kata dan puja-puji atas Allah dan Nabi-Nya.
Dalam konteks mencintai Allah dan Nabi saw. ini, konsekuensi yang dituntut dari
kaum Muslim adalah keharusan untuk mengikuti dan meneladani apa-apa yang telah
beliau contohkan.
Mencintai dengan meneladani
Al-Zujaj juga
berkata, "Cinta manusia kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati
keduanya serta meridhai segala perintah Allah dan segala ajaran yang dibawa
Rasulullah saw". Cinta dalam arti yang dimaksudkan di atas merupakan
suatu kewajiban. Sebab, mencintai Allah
dan Rasul-Nya terikat dengan pengamalan syariat yang telah diwajibkan oleh
keduanya. Artinya, ketika seorang Muslim menyatakan bahwa kecintaannya yang
tertinggi adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia wajib untuk
mengekspresikan kecintaannya itu dengan meneladani segala perilaku beliau dalam
segala aspek kehidupan. Allah swt berfirman:
Katakanlah,
“Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan
mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” [TQS. Ali
Imran: 31].
Selain itu,
kecintaan pada Rasul saw. juga harus diposisikan di atas kecintaan pada hal-hal
keduniaan. Sebagaimana sabda Nabi saw:
“Tidak beriman
seorang hamba hingga aku lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya, dan
seluruh manusia yang lainnya”. [Muttafaq 'alaih].
Masterpiece keteladanan
Rasulullah
saw. adalah pemimpin segala bidang. Ia pemimpin umat di masjid, di dalam
pemerintahan, juga di medan pertempuran. Ia tampak seperti psikolog yang
mengubah jiwa manusia yang biadab menjadi beradab. Ia juga seorang politikus
yang berhasil menyatukan suku-suku bangsa hanya dalam waktu kurang dari
seperempat abad. Ia juga pemimpin ruhani yang melalui aktivitas peribadahannya
telah mengantarkan jiwa pengikutnya ke alam kelezatan samawiyah dan
keindahan suasana ilahiah. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”. [TQS. Al-Ahzab: 21]
Siapapun yang
mencintainya, sering mengingatnya, hendaknya ia berkeinginan untuk meneladani
dan mengikuti jejaknya serta sudah selayaknya hidup dengan menjalani perilaku
yang pernah beliau praktikkan. Sebab, beliau merupakan teladan sekaligus panutan
bagi seluruh kaum Muslim. Beliau adalah pribadi Islam pertama yang dipilih oleh
Allah untuk mengemban amanah Islam sekaligus menyampaikan, menerapkan, dan
menyebarluaskannya. Beliau adalah orang yang sangat dipercaya sekaligus orang
yang paling takut dan bertakwa kepada Allah dibandingkan dengan semua manusia.
Re-aktualisasi kecintaan
Momentum
maulid Nabi sudah selayaknya kita arahkan untuk mengingat kenikmatan yang telah
diberikan oleh Allah kepada kaum Muslim melalui kelahiran tersebut, yaitu
berupa kenyataan bahwa melalui tangan beliaulah Allah memenangkan agama ini di
atas agama-agama yang lain. Lewat perantaraan beliaulah kegelapan jahiliah
digantikan dengan cahaya Islam, hukum kufur digantikan dengan hukum Islam.
Allah Swt. memerintahkan kita untuk meneladani Rasul dalam setiap aspek
kehidupan. Allah Swt. memerintahkan kita untuk menjalankan Islam secara kaffah.
Karenanya, di bulan Rabi’ul Awwal ini tidak cukup hanya ingat akan kelahiran
Nabi Muhammad saw. saja, melainkan bagaimana kaum Muslim secara kolektif
membidani lahirnya umat Islam yang satu, diikat oleh akidah yang satu, dihukumi
oleh aturan yang satu, dan dipimpin oleh pemimpin yang satu. Wallahu a’lam
bi al-shawab.[]
=====
(Jika merasa mendapat manfaat dari tulisan ini, sila disebarluaskan)
=====
=====
(Jika merasa mendapat manfaat dari tulisan ini, sila disebarluaskan)
=====
Langganan:
Postingan (Atom)